Menanti Tetes Embun Musim Kemarau (P.5)

Setelah belanja di tempat Mbok Ju, mamak langsung menuju kedapur untuk mengolah belanjaannya tadi. Rasa was-was mulai bermunculan kembali saat mamak melihat jam yang menunjukan pukul 09.00 wib. “tenang . . . . mudah-mudahan bapak tidak marah atas keterlambatan ini” kata mamak dalam hati mencoba menenangkan diri. Dengan agak sedikit terbru-buru mamak mempersiapkan bumbu-bumbu dan wajan tempat buat memasak.  Dalam waktu yang bersamaan mamakpun menanak nasi dan juga memasak air.

Bisa dibayangkan, tungku yag bapak buat sendiri dari tanah liat dibentuk dengan unik. Ukuran yang besar dan panjang serta dibuat lubang untuk menaruh tempat-tempat masak hingga tiga lubang, membuat mamak mudah untuk memasak di tiga tempat sekaligus. Sesekali ia harus melirik ke tungku untuk menjaga api agar tetap stabil. Asap makin mengebul, mengisi tiap-tiap celah ruangan dapur bahkan hingga mengusir udara yang berusaha memepertahankan diri untuk tetap membantu mamak bernapas.

Sesak nafaspun iya harus rasakan demi senyum bapak dikebun sana. Rasa pedih akibat asap hingga mengusik air mata, menetes membasahi wajah cantiknya. Maklum, belum ada kompor gas masuk ke kampung kami, boro-boro kompor gas kompor minyak saja jarang yang punya. Jadi tak heran ketika disamping-samping rumah numpuk gulungan ranting-ranting kayu tersusun rapi.

Setelah bergelut dengan asap dan menyelesaikan urusan dapur, kemudian mamak mempesiapkan tempat nasi dan lauk untuk ia bawa ke kebun menyusul bapak. Sejenak mamak tersentak melihat jam menandakan sudah pukul sepuluh. Tanpa pikir panjang ia berkemas mengganti pakaiannya dan pakaianku juga. Dirasa siap, ia menggendongku di depan dan juga mnggendong makanan untuk bapak di belakang serta tangan kanan yang berisi air. Mulailah mamak mengayunkan lagkahnya meninggalkan rumah menuju kebun tempat bapak berada. Jalan yang dilewati mamakpun sama dengan jalan yang dilewati bapak sebelumnya saat berangkat.

Sisi lain bapak mulai lagi melanjutkan pertempurannya dengan para gulma. Dedengkot-dedengkot gulma yang sudah menjulang tinggi menutupi tanamannya ia tebas dengan sabit. Sedangkan prajurit yang masih kecil-kecil ia cukup cabuti dengan tangannya. Waktupun terus berjalan, hingga bapak bisa menyelesaikan pekerjaannya hampir separo dari petak tanah yang dimiliki. Dengan semangat yang tinggi dan bercampur emosi karena makanan yang mamak bawa belom kunjung tiba, bapak tak mencermati ada sarang lebah yang menempel di gulma tersebut. Merasa dirinya terusik, akhirnya bapak mendapatkan kecupan pahit di kening sebelah kananya oleh pantat lebah. Rasa sakit yang tak seberapa, tapi menambah emosi yang semakin menjadi-jadi hingga akhirnya ia hanya duduk besandar dibawah pohon albasiah sambil memegang keningnya.